Dr. Elita Rahmi, S.H.,M.H
Saat ini ada seitar 660 ribu hektar tanah di Indonesia atau 11 kali luas Singapore berada dalam kondisi sengketa, jenis sengketanya 78 persen sengketa penguasaan dan kepemilikan, 7 persen masalah prosedur penetapan dan pendaftaran hak, 9 persen sengketa batas tanah, 0,5 persen masalah ganti rugi ekspartikelir, 0,51 persen sengketa tanah ulayat, 0,51 persen terkait objek landerform dan 0,34 persen terkait pengadaan tanah. Dilihat dari subjek hukum yang bersengketa, 73 persen perorangan, 10 persen orang dengan badan hukum, 6,5 persen orang dengan instansi pemerintah, 1,6 persen badan hukum dengan badan hukum dan 1 persen masalah antar masyarakat.
A. Pendahuluan
Suka atau tidak suka, Jambi adalah salah satu provinsi yang mengandalkan kan sektor kehutanan dan sektor perkebunan sebagai primadona pembangunan. Lompatan Pembangunan kedua sektor tersebut demikian pesat, ternyata tidak sinergi dengan kepastian hukum lemvestasi sektor Kehutanan di Provinsi Jambi?
Baru-baru ini sekitar 300 warga menyerang komplek milik PT Agronusa Alam (AAS) di Desa Jati Baru. Kecamatan Mandiangin Sarolangun sebelumnya PT DAS tahun 1998, PT Tebora Tahun 1999, PT Jamika Raya tahun 2000. PTPN VI Tahun 2002. PT DIPP tahun 2006. PT Asiatik Persada tahun 2011.Konflik tidak hanya terjadi di Provinsi Jambi, tetapi merata hampir di seluruh Indonesia.
Jenis kasus-kasus tanah di atas, sangat bekaitan dengan kehidupan rakyat di daerah kabupaten atau kota yang berhubungan dengan tanah sebagai hak ekonomi, sosial dan budaya yang harus dilindungi oleh negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi,Sosial dan Budaya.
Menurut Adrian Sutedi masalah pertanahan yang dihadapi pada masa mendatang adalah, pertama; masih adanya keenganan untuk membuka informasi, karena kurangnya pemahaman aparat pemerintah atas prinsip good govemance, kedua; pelaksanaan pendaftaran tanah yang belum optimal, ketiga; rendahnya pemahaman disiplin dan konsistensi aparatur BPN dalam pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah, keempat; belum terwujudnya sistem pengawasan yang baik, pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah diarahkan kepada: (a). Penyusunan peraturan perundang-undangan bidang pelayanan pendaftaran tanah termasuk mekanisme penegakan hukum yang adil, efektif, aspiratif, (b). Pembangunansistem pendaftaran tanah ruang yang mudah untuk diakses oleh masyarakat, (c). Pemanfaatan penataan ruang sebagai acuan dan perangkat koordinasi pembangunan antar daerah dan antar sektor, (d). Penggunaan tekhnologi mutahir untuk melengkapi data dasar perencanaan pendaftaran tanah dan peningkatan koordinasi dalam penyediaannya.
Padahal pemerintah telah mengeluarkan berbagai Perundang-undangan yang penting dalam rangka menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good govemance), yakni, pertama; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Keterbukaan Informasi, kedua; Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang kemudian membentuk lembaga Ombudman, ketiga; Putusannya Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 45/PUU-IX/2011 yang berbunyi sebagai berikut: Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; Frasa “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari fakta di atas, maka upaya pemerintah untuk mewujudkan 3 tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum terus dilakukan dalam rangka mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum. Di mana sesungguhnya akar masalah persoalan kepastian hukum berinvestasi sektor kehutanan, tiada lain adalah, konflik kewenangan antar instansi pemerintah, yakni Badan pertanahan nasional dan departemen kehutanan. Akibatnya berdampak pada seluruh sub-sub sektor pembangunan.
Konflik lahan merupakan masalah yang cukup rumit, karena terkaitpersoalan ekonomi, demografi, sosial dan budaya.Konflik lahan adalah pertikaian atau perselisihan yang menjadikan lahan sebagai objek persengketaan.
Lahan adalah suatu istilah yang tidak dikenal dalam UUPA, namun populer dalam praktik. Lahan dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan tanah terbuka atau tanah garapan. Perkembangan istilah tanah menjadi lahan, akibat demikian besarnya pengaruh tanah dalam sektor ekonomi, yang sering disebut tanah sebagai aset. Contoh Pasal 1 ayat 7) UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan menyebutkan skala tertentu adalah skala usaha perkebunan yang didasarkan pada luasan lahan usaha, jenis tanaman, teknologi, tenaga kerja modal dan/atau kapasitas pabrik yang diwajibkan memiliki izin usaha.
Kepastian Hukum Pertanahan. Adakah semua tanah didaftarkan (Konflik Kewenangan)?
Secara nasional pemetaan persoalan tanah berada pada konflik kewenangan penguasaan tanah. Atau antara tanah negara dengan tanah hak. Karena secara yuridis tanah negara adalah tanah yang belum dilekatkan hak-hak atas tanah.
Akibat konflik kewenangan tersebut pulalah di Provinsi Jambi sampai saat ini mengalami kesulitan dalam perubahan Perda Tata Ruang. Di Provinsi Jambi Perda yang mengatur Rencana Tata Ruang adalah Perda Nomor 9 Tahun 1993. Perda ini sudah selayaknya dicabut karena sudah sesuai dengan kondisi perkembangan Provinsi Jambi. Apalagi dengan berlakunya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Perda Tata Ruang menjadi sulit dibuat apabila tidak jelasnya perubahan tanah hutan menjadi non hutan. Seringkali peralihan fungsi hutan yang demikian pesat belum diiringi dengan pelepasan hutan.
Tumpang tindih (overlapping) penggunaan hutan dan non hutan, masih merupakan persoalan yang harus diselesaikan. Belum bersinerginya kedua lembaga yang diberi kewenangan mengelola urusan hutan dan non hutan, maka berdampak pada konflik dan sengketa lahan yang tak kunjung selesai. Dengan demikian pendekatan keamanan “kurang tepat“ dijadikan solusi holistik terhadap persoalan tanah. Tetapi hanya “menghentikan sesaat”, yang kemudian dapat menjadi gunung es, konflik periodik.
Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA mengatur bahwa untuk menjamin Kepastian Hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia.
(1) Atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya bermacam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung beerhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Dari ketentuan pasal 4 ayat (1) dan (2) di atas, jelas bahwa hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara, dan memberi kewenangan kepada pemegang haknya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengana tanah dalam batas- batas UUPA dan peraturan yang lebih tinggi.
Akibat tidak semua tanah didaftarkan, maka tumpang tindih antar kedua penguasaan tanah tersebut sulit dihindari. Sebaiknya semua tanah didaftarkan sesuai dengan peruntukan. Contoh hutan lindung dalam wujud hak pakai Departemen Kehutanan sedangkan Hutan Produksi alam wujud Hak pengelolaan Atas Tanah yang diserahkan kepada lembaga- lembaga pemerintah, yang seterusnya dapat dilekatkan hak-hak atas tanah di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL), sehingga para investor menjadi terang benderang kepada siapa sesungguhnya, pihak yang paling bertanggung jawab atas tanah yang dilekatkan hak-hak sekunder , karena hak memungut hasil hutan tidak menimbulkan hak atas tanah, tetapi hanya memanfaatkan hasil hutan.
B. Solusi dan Penyelesaiannya
1. Politik Hukum Agraria
Cita-cita UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA sebagai suatu undang-undang yang sangat populis masih jauh dari harapan dan filosofi UUPA. Reforma Agraria (RA) sebagai suatu upaya untuk merombak struktur penguasaan tanah masih meninggalkan banyak persoalan. Land reform sebagai esensi UUPA jauh dari harapan. Overlapping kewenangan pengelola sumber-sumber agraria, seperti Departemen Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Pertambangan, Kelautan, Pertanahan, Tata Ruang terus terjadi. Politik aji mumpung menyeliputi berbagai kebijakan yang dilahirkan pemerintah
2. Penyelesaian Konflik
Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan adalah cara yang terbaik,karenaesensinya adalah win-win solution (saling menguntungkan). UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, menjadi alternatif yang refresentatif karena pada saat kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan sedmikian merosot, maka penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui cara-cara perundingan, mediasi, arbítrese dan sebagainya, merupakan jalan keluar yang sangat bermanfaat.
Sesungguhnya BPN melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional telah membentuk Deputi Bidang Bidang pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dan BPN telah pula menerbitkan Keputusan Kepala BPN RI No. 34 Tahun 2007.
Berdasarkan peratuan di atas, maka dari segi kelembagaan, dari segi pengaturan, sengketa di luar pengadilan telah mendapat ruang yang cukup. Action terhadap formula penerapan musyawarah menentukan tercapai atau tidaknya pelaksanaan musyawarah.
Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan menurut Geny tidaklah ada artinya sama sekali.
Suatu kepastian hukum, menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Dari sisi kemanfaatannya, hukum seyogyanya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) terciptanya rasa terlindung dan keteraturan dalam hidup bersama dalam masyarakat.
C. Penutup
Kesimpulan
- Mewujudkan cita-cita pasal 19 UUPA bahwa semua tanah yang ada di Indonesia wajib didaftarkan. Dakam rangka kepastian hukum perintah pasa 19 UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA wajih dilaksanakan, dengan cara dilekatkan hak atas semua tanah yang ada, seperti untuk hutan lindung sebaiknya hak pakai sedangkan untuk hutan produksi sebaiknya Hak pengelolaan , karena hak ini memberikan wewenang kepada lembaga pemerintah dan badan usaha pemerintah, yang kemudian dilekatkan hak-hak lainnya, atau hak- hak lain yang sejenis.
- Apabila tetap pada pembagian tanah hutan dan non hutan, maka pelepasan tanah hutan, prosesnya harus transparan sehingga tidak menghambat sub-sub sektor lainnya, terutama persoalan tata ruang . Kewajiban pemerintah untuk memperkuat Posisi Masyarakat.