Istilah “Asian Value” sedang tranding di jagad maya khususnya di X (dulu twitter) setelah beredar cupilkan podcast Total Politik yang membahas politik dinasti. Lantas apa hubungan Asian Value dengan demokrasi, hak politik dan pemilu?

Istilah Asian Value ini berkaitan dengan hak asasi manusia (HAM), jadi ada dua paradigma besar bila membahas hak asasi manusia, pertama HAM bersifat universal yang dimotori oleh negara-nagara Barat dan Utara, dan kedua HAM juga bersifat relatif atau ada diversitas budaya yang dipercaya oleh negara-negara Timur dan Selatan. Ketika Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dirumuskan pada 1947, Dewan Eksekutif American Anthropological Association, memperingatkan bahaya bahwa Deklarasi itu akan menjadi ‘suatu pernyataan tentang hak-hak yang hanya dipahami dari sudut nilai-nilai yang berlaku di Eropa dan Amerika’. Dewan menyatakan ‘standar dan nilai adalah relatif terhadap budaya di tempat asal mereka’ dengan demikian bisa saja suatu hak di daerah tertentu dianggap antisosial oleh daerah lain, sampe saat ini belum ditemukan teknik yang secara kualitatif dapat menilai budaya. (Jack Donnely, 1984)

Ide relativisme budaya berakar dari filsafat kaum sophist yang secara umum menyatakan bahwa karakter moral adalah relatif dan dipengaruhi oleh budaya di wilayah masing-masing, termasuk tradisi indigenous, agama, ideologi politik dan ekonomi. Menurut Rawls hak memiliki “nilai hak” (the worth of rights), sehingga penerapan hak-hak oleh negara tidaklah homogen, konsep hak asasi manusia memang bisa mempunyai kualitas yang objektif, tetapi implementasinya bergantung pada faktor subjektif yang bervariasi yaitu politik dan ekonomi. (Scott Davidson, 1994).

Jadi apa makna Asian Values ? Asian Value adalah pemikiran hak politik yang di gagas para pemimpin Asia pada periode 1970-1990an, seperti: Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew  dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad sebagai identitas politik yang membedakan Timur dan Barat. Mayoritas negara Barat berfikir kebebasan dan liberal sedangkan negara Timur meyakini prinsip kolektivitas.

Cina juga memilki pandangan tersediri tentang Asian Value, dalam Deklarasi Bangkok tahun 1993 disebutkan bahwa: “Mengakui di samping hak asasi manusia bersifat universal, haruslah dipahami dalam konteks yang dinamis dan dalam proses pembentukan norma-norma (internasional) yang selalu berkembang, dengan memperhatikan kekhasan regional dan nasional serta beragam latar belakang historis, budaya dan keagamaan.”

Pandangan Cina terkait HAM yang dipengaruhi oleh Marxisme Tiongkok yang sangat berbeda dengan tradisi liberal Barat. Tradisi liberal Barat yang berbasis individualisme mengutamakan hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, pendekatan Marxis Tiongkok didasarkan pada kedaulatan anti-(neo) kolonial dan/atau anti-hegemonik, serta menolak campur tangan negara lain. Penetapan prioritas kedaulatan ini mengarah pada perhatian utama pada hak-hak sosial dan ekonomi, atau hak kesejahteraan sosial-ekonomi, yang di dalamnya terdapat hak-hak sipil, budaya, politik, dan lingkungan hidup. (Dongxin Shu, 2022)

Terkait Asian Value, Bung Karno Menyebutnya “Nation Building”, yakni membangun masyarakat dengan bertumpu pada kekhususan kultur yang berkembang secara indigenous dalam masyarakat seraya menolak identitas yang dipaksakan dari luar. Indonesia memilik Volksgeits (jiwa bangsa) yaitu Pancasila yang sebenarnya bersifat universal. Dalam pidatonya di PBB 30 September 1960 dengan judul ”To Build the World a New”, Bung Karno mencetuskan Pancasila sebagai manifesto intelektual, politik dan ideologi yang bersifat internasional, “It gives us the five principle of our state. There are: 1. Believed in God, 2. Nationalism, 3. Humanity, 4. Democracy, 5. Social Justice. The five principles are combined reflections of Indonesia’s natural climate and the personality of its inhabitants”. Pancasila tidak hanya bersifat nasional keindonesiaan tetapi universal, sehingga Pancasila dikatakan sebagai ideologi perdamaian yang mendekatkan dan mempersatukan semua bangsa.

Lantas apa makna Asian Value dalam demkorasi, hak politik dan pemilu di Indonesia? Berbeda dengan negara barat (liberal), hak politik di Indonesia tidak hanya sekedar pasal dalam UU yang mengatur tentang hak pilih dan dipilih tapi lebih dari itu memilik kekhasan tersendiri yaitu bersumber dari nilai Pancasila.

Pancasila sebagai philosophie grondslag atau weltanschauung memuat nilai-nilai yang terdiri dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan sosial. Khusus Sila ke-4 terkandung nilai kerakyatan yang dipimpin oleh pemimpin yang dilandasi oleh kebijaksanaan yang bersumber pada asas moral dan ketuhanan dalam suatu permusyawaratan/perwakilan.

Maknanya, setiap penyelenggara negara baik dalam kapasitasnya sebagai pemimpin lembaga negara, wakil rakyat, tokoh partai politik harus mendasarkan pada moralitas ketuhanan dan kemanusiaan. Dasar moralitas ini penting dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan hak rakyat atas kesejahteraan dan keadilan sosial. Betapa baiknya peraturan, bila penyelenggara negaranya korup, ambisi, serakah, fitnah, tidak amanah maka negara akan mengalami kerapuhan. Agus Salim menyatakan bahwa moralitas bersumber dari sila Ketuhanan Yang Mahasa Esa, artinya hanya orang yang bertakwa kepada Tuhan YME yang layak memimpin bangsa ini. (Kaelan, 2018)

Nama faktanya demokrasi di dunia khususnya di Indonesia saat ini tidak baik-baik saja, beberapa lembaga independent menyebutkan demokrasi Indonesia mengalamai penurunan, indeks demokrasi Indonesia versi Economist Intellegence Unit (EIU) tergolong cacat (flawed democracy) yaitu pada posisi 6,71 (2022). Berdasarkan data Freedom House indeks demokrasi turun, saat ini di angka 53 poin (2023), data Reporter Without Borders (RSF) pada angka 54, 83 poin (2023). Puncaknya baru-baru ini Indonesia mendapat sorotan tajam dari United Nation Human Rights Committee, dalam siaran pers 28 Maret 2024 mengungkap temuan berisi keprihatinan atas implementasi negatif dari ICCPR, Indonesia mendapat sorotan terkait pelanggaran hak sipil dan politik adanya pengaruh yang tidak semetinya terhadap jalannya pemilu 2024, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi yang menurunkan syarat usia minimum kandidat dan menguntungkan putra presiden.

Jadi apa maka Asian Value terkait pemimpin politik? Untuk membahas ini maka kita harus kembali menilik makna praktikal filsafat terkait hak politik, untuk apa hak politik itu ada dan harus ada. Di Asia syarat pemimpin tidak cukup hanya pintar namun juga hikmat dan bijaksana (wise). Sri Paku Buwono IV dalam “Serat Wulangreh, bait ke-4, (1768-1821) mengatakan “apabila anda ingin mencari pemimpin, pilihlah manusia yang benar-benar bermartabat baik dan berperilaku baik, yang paham dan menjunjung tinggi hukum, serta yang taat beribadah dan senantiasa berhati-hati, lebih utama bila bisa menemukan manusia yang suka tirakat/berprihatin/sederhana, yang tidak memikirkan pemberian orang lain, itulah yang pantas kau jadikan pemimpinmu”

Kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, berdasarkan situasi aktual dipandu oleh nilai-nilai dan moral. Asal usul kebijaksanaan adalah konsep phronesis dari Aristoteles, yaitu “kapasitas pemimpin membuat penilaian dan bertindak dengan akal sehat untuk menentukan hal yang (etis) baik atau buruk bagi manusia”. Prinsip kebijaksanaan ini mirip dengan konsep ‘Toku’ di Jepang dimana kebajikan mengarahkan seseorang mengejar kebaikan bersama dan keunggulan moral sebagai cara hidup. Hal ini juga mirip dengan konsep “Yukta” di India, kebijaksaan yang berarti ‘tepat’ atau ‘pantas’ dilakukan (Nanoka and Takeuchi, 2021). Artinya Asian Value pemimpin politik, percaya bahwa tujuan bernegara bukan mencari kekayaan pribadi tetapi melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga ia akan berintegritas dan tidak akan serakah.

                                       Oleh *Mochammad Farisi, Dosen Hukum Internasional FH UNJA & Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Prov. Jambi.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *