Ir. Dede Martino, M.P

Rata-rata laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jambi adalah 1,5% per tahun, dimana Kota Jambi memiliki jumlah penduduk terbesar di Provinsi Jambi yakni 17,20%. Berdasarkan luas daratan Provinsi Jambi rata-rata kepadatan penduduk Provinsi Jambi pada 2010 adalah 63 jiwa/km2 dan pada 2030 diproyeksi memiliki kepadatan rata-rata sebesar 99 jiwa/km2, dengan kepadatan yang demikian akan menimbulkan masalah tersendiri terutama pada Kota Jambi.

Masalah yang akan muncul biasanya adalah semakin menyusutnya lahan pertanian karena lahan yang letaknya strategis beralih fungsi menjadi perumahan, perkantoran atau jalan raya serta pertokoan. Sulitnya mempertahankan keberadaan lahan pertanian, karena harga lahan di perkotaan sangat cepat meningkat, sehingga pajak tanah semakin tinggi, sedangkan harga produk pertanian peningkatannya tidak secepat harga lahan, sehingga petani cenderung tergiur untuk menjual tanahnya dan pindah ke luar kota akibat tekanan tersebut. Kebanyak lahan yang tertinggal adalah lahan sempit dan tidak subur.

Sedangkan kebutuhan sayur untuk masyarakat kota dapat dipastikan akan semakin meningkat dengan semakin meningkatnya jumlah populasi, sedangkan jumlah kebun sayurnya semakin menyusut, untuk mengatasi hal tersebut sudah seharusnya ditingkatkan teknologi penanaman sayur di daerah perkotaan sehingga lahan sempit dan kurang subur yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal.

Di lain pihak akibat meningkatnya populasi masyarakat kota di kemudian hari adalah semakin bertambah beratnya lingkungan perkotaan untuk menyelesaikan masalah sampah di dalam siklus biogeokimia ekosistem perkotaan, karena sudah dipastikan sebuah kota denga kepadatan sampai 99 jiwa/km2 tersebut akan dibebani kurang lebih 200 kg sampah organik/km2, dan sampah an organik lainnya. Sampah organik apabila di dalam 3 hari tidak dikelola, maka sampah tersebut sudah dapat menyebabkan masalah pulusi akibat proses pembusukan sudah mulai berlangsung. Pada tahun 2009 tercatat 630.229,86 kg/hari sampah organik ditimbulkan oleh kota Jambi dengan sebaran per kecamatan seperti terlihat pada Tabel 1. Sampah organik ini boleh dikatakan dikelola dengan sistem pengelolaan sampah bersifat linier dari sumber ke TPA, tidak masuk dalam siklus biogeokimia ekosistem perkotaan, sehingga TPA menjadi penuh dan tidak akan pernah mampu menampung sepanjang waktu sampah yang dihasilkan oleh Kota Jambi.
Terlihat kecamatan yang menghasilkan sampah organik adalah Kecamatan Kota Baru, sedangkan kecamatan pasar yang diberitakan penuh sampah hanya menghasilkan sedikit sampah organik, namun bertumpuk pada spot spot tertentu seperti pada pasar Angso Duo, sehingga penumpukkan ini menimbulkan masalah. Di Kecamatan Kota Baru penghasil sampah organik ternyata dihasilkan oleh rumah tangga, sampah dari dapur dan halaman rumah adalah penyumbang terbesar sampah organik di Kota Jambi.

Tabel 1. Sebaran rata-rata berat sampah organik pada kecamatan di Kota Jambi

No Kecamatan Rata-rata Berat Sampah
1. Kota Baru 153.140,94
2. Jambi Selatan 127.865,09
3. Jelutung 93.744,64
4. Pasar Jambi 38.268,86
5. Telanaipura 95.102,09
6. Danau teluk 16.477,57
7. Pelayangan 14.327,35
8. Jambi Timur 91.303,32
Total 630.229,86

Sumber : Balitbanda (2009)

Bila di lihat dari kejadian ini, maka kita dapat mengelola sampah organik dengan sistem siklus dan memasukkannya ke dalam siklus biogeokimia ekosistem perkotaan, sehingga sampah tidak akan pernah menumpuk, dan terus di transformasi menjadi bahan organik sederhana dan unsur hara untuk menyuburkan lahan pertanian, dan hasil pertanian dapat dimasukkan kembali ke pasar, sehingga senyawa organik tersimpan di dalam sistem biogeokimia ekosistem perkotaan dan tidak menumpuk pada titik titik simpul rantai makanan perkotaan.

Untuk menerapkan konsep mengelola sampah organik perkotaan di dalam siklus biogeokimia tidak semudah yang dikatakan, karena ekosistem perkotaan sudah tidak sama lagi dengan ekosistem hutan, dan banyak perangkat ekosistem yang sudah tidak tersedia, untuk menggantikannya kita dapat membantu ekosistem perkotaan dengan teknologi. Salah satu teknologi yang dapat dipergunakan adalah teknologi pengolahan sampah organik padat menjadi cairan organik mempergunakan Bioreaktor Pembangkit Pupuk Cair atau BPPC, dengan teknologi ini hampur 99% bahan organik padat menjadi bahan organik cair yang tidak mengendap yang dikenal dengan Jus Bumi.

Ada 3 macam cairan organik yang ada pada saat ini. Pertama adalah lindi, lindi ini dalah hasi proses pengomposan tidak sempurna, lindi bersifat masam dengan kisaran pH 3 – 4, bau, kandungan unsur haranya sangat sedikit, dan bila dimasukkan ke kolam atau disiramkan langsung ke tanaman akan membunuh tanaman. Kedu adalah teh kompos, yang merupakan hasil fermentasi aerob bahan organik padat di dalam air, pada proses fermentasi ini tidak semua padatan organik terurai, rata-rata 30-40% bahan organik tidak dapat terurai, sehingga kandungan unsur haranya juga kurang, pH cairan mendekati 4 – 5,5, dan dapat dipakai untuk menyuburkan tanaman yang ditanam di tanah, untuk hidroponik tidak dapat dipergunakan karena hasilnya tidak pernah memuaskan. Ketiga adalah Jus Bumi, hasil pengomposan yang lebih sempurna hampir 99% bahan organik padat termasuk tulang dihancurkan dan menjadi bagian dari Jus Bumi, pH 5,5 -6,8, mengandung buffer organik dan bila dinaikan kandungan NPKnya menjadi 2% mana cairan ini dapat dipergunakan sebagai media hidroponik organik.

Jus Bumi dapat dipakai untuk menjalankan sistem hidroponik organik, dari hasil percobaan penggunaan Jus Bumi Hidroponik pada sayur mayur menunjukkan pertumbuhan sayur mayur dapat 4 x lebih subur daripada sayur yang di tanam di tanah. Dengan melakukan inovasi sistem penanaman mempergunakan Rak Hidroponik Organik, kita dapat menhasilkan sayur mayur di lahan sempit dengan tingkat kesuburan yang tinggi dan bisa bebas pestisida.

Konsep pengelolaan sampah organik  perkotaan  mempergunakan teknologi BPPC di setiap rumah tangga perkotaan dan Jus Bumi yang dihasilkan oleh rumah tangga tersebut dipakai untuk menanam sayur mayur dengan cara hidroponik organik disebut dengan metode sistem pertanian O City Farming. Teknologi dikembangkan untuk mengatasi masalah sampah organik perkotaan dan menyediakan teknologi penanaman sayur mayur sehat di tempat sempit dan kurang subur.

Pengelolaan langsung bahan organik di unit-unit rumah tangga adalah untuk mengefisienkan sistem serta untuk memastikan bahwa tidak masuk bahan beracun ke dalam siklus biogeokimia ekosistem kota secara ketat. Karena apabila sampah organik tercampur dengan sampah an organi  di tempat pembuangan sementara dan di TPA yang dipergunakan sebagai pupuk oragnik untuk pertanian, silit dipastikan tidak tercemar bahan beracun seperti oli, batu batrai, timbal, seng yang berasal dari sampah an organik yang juga dibuang tercampur dengan sampah organik. Bisa dipastikan pupuk organik dari TPA tidak terjamin bebas dari racun dan senyawa berbahaya. Untuk memperolah pupuk organik yang bebas racun, maka kita harus mengawal dari dari sumbernya (dapur dan halaman rumah tangga) agar tidak terkontaminasi racun.

Keberadaan rekayasa pertanian berbasis siklus biogeokimia ekosistem perkotaan  dalam konsep O City Farming diharapkan dapat mengatasi permasalah sampah organik Kota Jambi tahun 2030 nanti  dan dengan tersedianya teknologi tersebut diharapkan  Kota Jambi sanggup mengelola sampah kota dengan melakukan siklus biogeokimia ekosistem  dan menyediakan pertanian ramah lingkungan dan berkelanjutan yang dapat menghasilkan bahan pangan tidak beracun untuk masyarakat kota.
Secara sosial ekonomi konsep O City Farming ini memperkenalkan keterlibatan sekolah, rumah tangga dan pengusaha sayur dalam mengelola sampah kota dan menghasilkan sayur sehat secara terpadu. Hasilnya dapat berupa usaha hidroponik organik, hodroponik organik sayur mayur di atas meja makan dan untuk di dalam mobil, membuat hidroponik organik sendiri di sekolah dan rumah tangga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *