Sejak seminggu lalu, beberapa kota di Prancis dalam kondisi darurat termasuk Paris, Penembakan remaja 17 tahun oleh polisi yang kemudian viral di media sosial memicu gelombang kerusuhan terburuk dalam sejarah Prancis pada abad ke-21.
Di belahan lain, perang antara rusia dan ukraina memasuki babak baru saat wagner grup, sebuah perusahaan militer privat yang dikontrak oleh pemerintah rusia hampir saja memicu perang saudara. Sementara di Amerika, kasus penembakan massal terus terjadi, politisinya sibuk mengurusi urusan privat, angka penduduk homeless yang meningkat signifikan di hampir semua negara bagian yang menyebabkan meningkatnya kriminalitas. Hal ini mengafirmasi bahwa pemerintahan di seluruh dunia saat ini menghadapi era krisis multidimensi, ditandai oleh serangkaian guncangan-guncangan yang mengancam ketahanan ekonomi, keamanan, dan kesejahteraan global. Sumber-sumber krisis ini bervariasi mulai dari ketidakstabilan politik dan ketegangan geopolitik, hingga penurunan ekonomi, krisis energi, dan keadaan darurat kesehatan masyarakat seperti pandemi COVID-19.
Negara-negara maju seperti Inggris, Jerman, Jepang dan Korea juga dihadapkan dengan tantangan struktural seperti populasi yang menua,pengelolaan transisi hijau dan transformasi digital yang menuntut perubahan pendekatan yang mendalam pada kebijakan ekonomi dan kesejahteraan.Meskipun banyakpemerintah telah memanfaatkan peluang dari modernisasi, terutama digitaliasi, mereka juga menghadapi sejumlah tren yang mengkhawatirkan, termasuk meningkatnya polarisasi politik, prevalensi disinformasi dan misinformasi yang semakin meningkat, serta kekecewaan yang meningkat terhadap proses demokrasi tradisional. Hal ini mendorong pemerintah untuk semakin fokus pada penguatan ketahanan demokratis dan mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga publik.
The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)baru saja menerbitkan laporan yang berjudulGovernment at a Glance 2023, menyajikan data perbandingan internasional tentang berbagai alat dan praktik tata kelola publik di negara-negara anggota OECD dalam kondisi krisis multidimensi beberapa tahun terakhir. Sebagai salah satu key-partner OECD, pemerintah Indonesia dapat memanfaatkan laporan ini untul mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan dalam kebijakan dan praktik tata kelola pemerintahan, serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan di masa depan.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi perhatian penting dalan merespon krisis multidimensi post-pandemi yang dapat dijadikan pertimbangan oleh pemerintah Indonesia:
Post-pandemi, krisis multidimensi dapat menggerus kualitas demokrasi dengan hilangnya kepercayaan masyarakat pada lembaga publik.
Laporan OECD memperlihatkan bahwa ada kekhawatiran besar terhadap proses pengambilan keputusan secara partisipatif. Survei yang dilakukan di 22 negara OECD menemukan bahwa lebih dari 43% responden menyatakan pemerintah tidak mungkin mempertimbangkan ataupun mengakomodir pendapat yang disampaikan dalam konsultasi publik.Dalam konteks Indonesia, temuan tersebut mengindikasikan permasalahan yang serupa dalam negara demokratis. Ketidakpercayaan terhadap proses pengambilan keputusan partisipatif dapat memiliki dampak negatif pada legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.Pandemi COVID-19 telah memberi pelajaran penting,terutama menyoroti permasalahan yang muncul dalam praktek kebijakan di tengah kondisi krisis. Dalam situasi yang mendesak, cepat, dan darurat seperti pandemi, seringkali suara publik terabaikan dan keputusan diambil oleh pihak eksekutif dengan sedikit atau tanpa keterlibatan publik yang memadai. Hal ini dapat menimbulkan kekhawatiran mengenai keseimbangan kekuasaan dan potensi penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merusak tatanan demokrasi.
Dalam konteks pasca-pandemi, penting untuk melakukan evaluasi ulang terhadap proses pelibatan publik secara partisipatif. Diperlukan asesmen yang mendalam untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil memperhatikan berbagai sudut pandang dan aspirasi masyarakat secara luas. Proses pelibatan publik yang lebih partisipatif dapat menghasilkan kebijakan yang lebih akuntabel, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat.Peningkatan partisipasi publik tidak hanya memperkuat dasar demokrasi, tetapi juga membantu membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan kebijakan yang diambil. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan akses yang mudah dan inklusif bagi masyarakat dalam memberikan masukan, mengikuti proses kebijakan, dan mempengaruhi keputusan yang diambil.Partisipasi publik yang kuat dan inklusif penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara luas. Untuk meningkatkan proses pengambilan keputusan partisipatif di Indonesia, pemerintah perlu lebih proaktif melakukan survey terbuka, konsultasi publik,serta mengambil langkah-langkah yang lebih nyata dalam melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan.
Pemerintah harus terus perang terhadap korupsi, lemahnya integritas, dan mis-dan disinformasi
Pada laporan yang diterbitkan oleh OECD mengungkap banyak negara anggota OECD tidak memiliki perlindungan yang komprehensif untuk mencegah korupsi, terutama dalam upaya-upaya lobi, proses politik anggaran, dan situasi konflik kepentingan pada perumusan kebijakan. Rata-rata, dari 29 negara OECD yang disurvei, hanya 12 negara yang memiliki daftar upaya lobi yang dapat diakses publik, artinya tidak sampai setengahnya kepentingan pelaku politik teridentifikasi dan memang merepresentasi suara publik.
Faktanya bahwa hanya sebagian kecil negara OECD yang memiliki daftar upaya lobi yang dapat diakses publik menunjukkan adanya kekurangan dalam transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini mengindikasikan bahwa kepentingan kelompok tertentu mungkin memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan suara publik yang lebih luas. Kondisi ini dapat memberikan celah bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, kondisi ini mafhum di Indonesia.
Maka untuk terus memerangi korupsi, langkah-langkah perubahan out of the box perlu diambil. Pemerintah dapat memperkuat transparansi dengan mewajibkan daftar upaya lobi yang dapat diakses publik, teregistrasi dan dapat di kawal oleh publik, serta mengembangkan aturan yang jelas dan ketat, namun adaptif terkait sumber pendanaan politik dan konflik kepentingan. Selain itu, penting untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.Dengan menerapkan langkah-langkah ini, Indonesia dapat meningkatkan integritas dalam proses pengambilan keputusan, membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan menciptakan lingkungan yang lebih adil dan transparan dalam perumusan kebijakan.
Lebih jauh, pelajaran berharga dari Prancis dan Amerika saat ini adalah, perlunya peningkatan kecerdasan emosional dan psikologis masyarakat dengan litrasi digital yang masif, tugas pemerintah adalah memastikan roadmap peningkatan pendidikan sejalan dengan adaptasi teknologi yang begitu cepat, integritas terhadap teknologi dan informasi menjadi semakin kompleks di era digital. Hadirnya Kecerdasan Buatan (AI) menawarkan peluang yang signifikan, termasuk memperluas dan menjaga hak dan kebebasan demokrasi. Namun, pemanfaatannya juga menghadirkan tantangan bagi pemerintah, seperti memastikan bahwa hal itu menumbuhkan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk terlibat secara konstruktif dalam proses demokrasi dan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Laporan OECD menyebutkan bahwapada tahun 2022, 17 dari 30 negara OECD (57%) telah memberlakukan undang-undang atau peraturan untuk memastikan penggunaan AI secara etis, sementara 11 negara (37%) telah memperkenalkan pedoman, standar, atau prinsip dalam hal ini.Hal ini penting untuk menghindari potensi penyalahgunaan dan diskriminasi dalam penggunaan AI, serta memastikan bahwa teknologi ini memberikan manfaat yang merata bagi masyarakat.Dalam konteks Indonesia, pemerintahperlu dengan segera memperhatikan aspek legal dan regulasi terkait penggunaan AI. Penyusunan serangkaian regulasi dan pedoman yang jelas dan sesuai dengan prinsip etika akan membantu menciptakan landasan yang kuat bagi penggunaan AI yang bertanggung jawab dan sesuai dengan kepentingan masyarakat di masa mendatang, akan tetapi tetap dengan memperhatikan aspek partisipasi inklusif.
Rio Yusri Maulana, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi, Doctoral student at Joint Doctoral Study Program Governance and Economics in The Public Sector, University of Ljubljana, Faculty of Public Administration, Slovenia and University of Rijeka, Faculty of Economics and Business, Croatia.