Dwi Suryahartati, SH, M.Kn
Pertemuan dengan Pejabat Publik seperti Notaris/PPAT dalam berbagai kesempatan , selalu mengingatkan saya akan pentingnya Posisi Notaris sebagai sebuah profesi hukum yang berada dalam ranah pencegahan (preventif). Notaris adalah sebuah profesi hukum tertua di dunia. Saat ini sudah sangat mudah menjumpai kantor-kantor Notaris/PPAT, bahkan sampai ke desa. Hal tersebut terjadi karena ada hubungan langsung dengan pertumbuhan jumlah penduduk, yang sampai dengan 2012 ini penduduk Indonesia berkisar 240 juta jiwa. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengatur mengenai formasi Notaris (UUJN). Menurut UUJN formasi Notaris adalah penentuan jumlah Notaris pada suatu wilayah jabatan Notaris. Artinya jumlah Notaris di Tiap wilayah akan berbeda- beda sesuai dengan jumlah penduduk suatu wilayah, dan pengangkatan Notaris didasarkan pada quota yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Notaris/PPAT sebagai pejabat publik memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat dalam ranah privat, yang ada kalanya terdapat hubungan tidak langsung ke ranah hukum Administrasi Negara. Bahkan dalam titik tertentu Notaris dapat menemukan hukum yang sudah tentu melakukan penegakan hukum pula. Secara etika, tidak ada perbedaan pelayanan hukum oleh Notaris yang satu dan Notaris yang lain, karena segala tingkah laku profesi dan/atau jabatan memiliki “rule of the game” yang pasti. Namun mengapa Dalam praktik sering ditemui adanya perbedaan pelayanan yang ditemui di tiap kantor Notaris ?, sehingga menyebabkan kesenjangan yang tajam antara pelayanan hukum yang diberikan oleh Notaris satu dengan yang lainnya.
Berkaitan dengan pelayanan, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, masyarakat penerima layanan hukum Notaris dapat disebut sebagai konsumen. Jika ada istilah konsumen tentu ada kaitannya dengan produsen, dan ada kaitannya juga dengan teori permintaan dan penawaran menurut ilmu ekonomi. Saya analogikan bahwa Notaris/PPAT adalah produsen yang menghasilkan produk (akta otentik), dan Konsumen adalah penerima dan/atau pemakai produk tersebut. Bertambahnya jumlah Notaris seharusnya memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat. Namun peningkatan jumlah Notaris tidak serta merta membuat kenyamanan bagi pemakai jasa pelayanan hukum oleh Notaris/PPAT. Semakin hari, persaingan makin pesat, semakin hari pula terdapat banyak terjadi sengketa-sengketa antara para pihak dalam akta, antara pihak dalam akta dan pihak lain yang bersangkutan ataupun berkepentingan terhadap akta yang dihasilkan seorang Notaris. Bahkan banyak Notaris yang menjadi saksi sampai meningkat menjadi tersangka dalam kasus-kasus hukum di Indonesia. Belum lagi persoalan antar lembaga yang menyulut kemelut dalam “selimut “. Seperti contoh antara Badan Pertanahan dengan kementerian Hukum dan HAM terkait format akta tanah. Hal ini menarik untuk diperhatikan karena tidak sesuai dengan yang diharapkan. Persoalan mendasar dari keadaan tersebut adalah berkenaan dengan Fungsi, Tugas dan wewenang jabatan Notaris baik secara Normatif seperti yang terkandung dalam UUJN maupun secara empiris sehubungan dengan pelaksanaan reformasi hukum yang menyeluruh di Indonesia.
Sebagai Profesi hukum tertua di dunia, terbentuknya lembaga Notaris tidak serta merta begitu saja ada. Awalnya jabatan Notaris adalah profesi kaum terpelajar dan dekat dengan sumber kekuasaan (500-1000 setelah Masehi) . Terbentuknya Notaris pada dasarnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam melakukan kegiatan yang memerlukan alat bukti sehubungan dengan pergaulan hidup bermasyarakat. Kebutuhan akan jasa hukum Notaris berkaitan dengan tingkat perekonomian dan kesadaran hukum masyarakat. Berbicara mengenai Notaris di Indonesia tidak terlepas dari sejarah lembaga Notaris di negara-negara Eropa pada umumnya dan negeri Belanda khususnya. Notaris berasal dari nama pengabdinya yaitu Notarius. Kemudian melembaga menjadi Notarius yang merupakan suatu golongan orang yang melakukan kegiatan tulis menulis. Istilah Notaris mengalami beberapa perkembangan yang dimulai dari istilah Notarii, Tabellioness, Tabularii.
Sebagai Pejabat Umum (openbare ambtenaar) yang merupakan Profesi terhormat (officum Nobile), UUJN mengatur mengenai Kewenangan, Kewajiban dan Larangan bagi Notaris yang tercantum dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 17. Secara garis besar Notaris berwenang untuk : membuat akta otentik berkenaan dengan perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, Notaris juga dapat memberikan groose, salinan, dan kutipan akta, Melakukan legalisasi, Melakukan warmeking, Membuat copycollatione, Memberikan pengesahan terhadap kecocokan fotocopy dengan aslinya, Memberikan penyuluhan hukum, Dan membuat risalah lelang. Selain itu dalam UUJN Notaris juga diberi wewenang untuk membuat akta yang berhubungan dengan Pertanahan, walaupun sampai sekarang masih menjadi polemik. Mengingat bahwa akta otentik yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, maka tidak jarang berbagai peraturann perundang-undangan mengharuskan akta otentik dalam perbuatan hukum tertentu.
Notaris saat ini memiliki dualisme kewenangan yang sifatnya profesi dan memiliki sifat sebagai jabatan yaitu “pejabat publik”, yang memberikan pelayanan dan melakukan penegakan hukum . Pada dasarnya sebuah jabatan dan profesi adalah dua hal yang berbeda. Asumsi Profesi jabatan notaris yang pada mulanya adalah pemberian pelayanan hukum kepada masyarakat yang bersifat privat, hendaknya jangan sampai mengubah paradigma menjadi sebuah kegiatan pelayanan yang “profit oriented”. Sementara “profesi” adalah sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan keahlian dan keterampilan. Uniknya dua istilah ini dalam masyarkat digunakan secara bersamaan dalam istilah “jabatan profesi Notaris”. Terdapat Pergeseran kultur profesi hukum dalam hal ini, Jabatan Notaris terletak pada Moralitas Hukum sebagai salah satu komponen penegak hukum. Dalam pengertian yang lugas mengenai penegakan hukum, Soejono Soekanto memandang bahwa penegakan hukum sebagai suatu proses yang pada hakekatnya merupakan diskresi menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi dan pada hakekatnya diskresi berada pada hukum dan moral. Kewenangan Notaris yang menyeluruh telah diatur dalam UUJN.
Dengan itu maka pengembangan hukum yang dilakukan Notaris dapat berlangsung terus menerus sesuai dengan keberlakuan kewenangannya. Maka Notaris adalah sebuah profesi yang secara prinsip formil dan materil adalah penegak hukum sesuai dengan porsinya. Pada saat sekarang, diembannya jabatan Notaris tidak terlepas dari peran Perguruan Tinggi. Baik dari persiapan pendidikan profesinya maupun sampai pada tingkat praktik di lapangan yaitu Pengawasan profesi Notaris. Dalam Pasal 3 Huruf (e) UUJN menerangkan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris oleh Menteri adalah berijazah Sarjana Hukum dan lulusan jenjang Strata dua Kenotariatan. Sebagai institusi yang melahirkan lulusan yang menenuhi syarat menjadi Notaris (Magister Kenotariatan), Perguruan Tinggi (akedemisi) juga memiliki peranan sebagai salah satu unsur Pengawasan profesi jabatan Notaris (Majelis Pengawas). Artinya peranan Perguruan Tinggi sangat erat kaitannya dengan perkembangan dunia kenotariatan baik secara akademis maupun praktis di Indonesia. Sehingganya Pendidikan tinggi harus mampu menciptakan calon-calon tenaga siap latih untuk memasuki dunia “kerja” . Peranan tersebut dapat dihasilkan melalui peran pelaku-pelaku institusi pendidikan tinggi yang mampu menjadi agen perubahan yang dapat mendorong perubahan (drive to change), bukannya dipimpin oleh perubahan (lead by change), bahkan menolak perubahan (resist to change).
Saat ini tidak kurang dari 14 Perguruan Tinggi penyelenggara Program Kenotariatan di Indonesia. Artinya lulusan yang dihasilkan dengan gelar “M.Kn” menurut UUJN memenuhi salah satu syarat untuk dapat menjadi Notaris. Semakin banyaknya Perguruan Tinggi penyelenggara Program Kenotariatan, semakin besar pula peranan melembaga baik formil maupun materil terhadap keberlangsungan sebuah profesi hukum Notaris di Indonesia. Memang, prinsipnya berbeda dengan Program Spesialis Notaris yang mempersiapkan sesorang khusus menjadi Notaris/PPAT. Setelah diundangkannya UUJN, Perguruan tinggi penyelenggara program tidak semata-mata mencetak calon Notaris/PPAT, Namun juga mempersiapkan keilmuan yang sejajar dengan Program Strata dua lainnya. Lulusan Program Kenotariatan adalah lulusan yang memiliki kompetensi ganda baik secara akademisi maupun praktis. Perguruan tinggi penyelenggara Program kenotariatan memiliki tantangan tersendiri. Karena selain mempersiapkan lulusan secara praktik (pendidikan profesi), juga mempersiapkan seorang akademisi yang mumpuni dalam bidangnya. Perguruan Tinggi harus siap dengan tantangan global yang berputar cepat.
Peranan Notaris dalam berbagai bidang kehidupan makin dirasa penting, oleh karenanaya Perguruan Tinggi harus siap menitikberatkan pengkajian dalam bidang Hukum Formil yaitu kajian hukum yang terkait dengan proses penegakan hukum materil, khususya di bidang hukum keperdataan, Hukum Ekonomi, Pasar Modal, dan lainnya yang erat hubungannya dengan profesi Notaris. Program Kenotariatan harus mampu mengikuti dinamika hukum di Indonesia yang berkembang cepat sesuai dengan perkembangan ilmu dan praktik terbaru. Tidak hanya berperan dalam menghasilkan lulusan yang mumpuni, Peranan Perguruan Tinggi dalam Praktik Kenotariatan di Indonesia sangat signifikan. Kegiatan Pelayanan Hukum Notaris di Indonesia perlu mendapat pengawasan. Pasal 67 UUJN menerangkan bahwa Pengawasan atas Notaris dilakukan oleh Menteri, dengan membentuk Majelis Pengawas yang terdiri atas 3 unsur yaitu; Pemerintah, organisasi Notaris, dan ahli/akademisi. Ahli/akademisi berasal dari Perguruan Tinggi, artinya bahwa jelas Perguruan Tinggi memiliki peran dalam praktik kerja Notaris di masyarakat.
Dalam Kongres XX Ikatan Notaris Indonesia, terungkap bahwa masih banyak notaris yang melanggar UUJN dalam membuat akta. Hal ini berakibat fatal hingga menyebabkan seseorang/kelompok orang/badan hukum kehilangan haknya. Belum lagi kondisi negara yang rumit berkenaan dengan berbagai kasus money Loundry, bukan tidak mungkin Notaris ikut terkena imbasnya, contohnya dalam penjualan saham atau pembelian saham perusahaan yang berasal dari kejahatan pencucian uang. Banyak hal lain lagi berupa godaan yang merayu idealisme jabatan /profesi Notaris. Seorang Notaris harus menjaga keluhuran martabat profesinya, tidak hanya sekedar mengejar kesuksesan pragmatis jangka pendek. Keluhuran dan martabat Notaris adalah harga mati. Ini yang harus dijaga dan dipertahankan. Jangan sampai masa kemerosotan profesi Notaris terjadi di Negara ini, seperti yang pernah terjadi di negara-negara lain, yang sedikitnya di Indonesia telah hampir terlihat. Pengawasan Notaris diperlukan dalam hal Notaris mengabaikan keluhuran dan mrtabagat tugas jabatannya atau melakukan pelanggaran terhadap peraturan hukum atau melaksanakan kesalahan lain dalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris. Walaupun di sisi lain kode etik profesi Notaris adalah sebuah pedoman dalam menjalankan tugas jabatannya. Disinilah Peran Perguruan Tinggi sangat penting dalam ikut menjaga keberlangsungan keluhuran martabat profesi Notaris di Indonesia.