S. Sibagariang, S.H., M.H.

Keberadaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dalam kehidupan hukum di Indonesia, telah meniti suatu era baru yaitu era kebangkitan hukum nasional yang lebih mengutamakan perlindungan hak asasi tersangka dalam mekanisme sistem peradilan pidana (criminal justice system). Perlindungan atas hak asasi tersangka tersebut diharapkan akan dapat dilaksanakan sejak tersangka ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili di muka sidang pengadilan. Selain perlindungan hak asasi tersangka, juga terkandung harapan agar penegakan hukum berlandaskan undang-undang tersebut memberikan kekuasaan kehakiman yang bebas dan bertanggungjawab kepada hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara pidana. Harapan tersebut di atas hanya dapat terwujud apabila orientasi penegakan hukum dilandaskan pada pendekatan sistem atau system approach.

Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) dikenal dua model yaitu criminal control model (CCM) dan due process model (DPM). Lahirnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan kompromi dari kedua model tersebut. Due process model lebih mengutamakan efektivitas (hasil guna). Untuk mencapai efektivitas dimaksud diperlukan lembaga-lembaga seleksi. Di dalam KUHAP lembaga tersebut dikenal dengan istilah pra peradilan, pra penuntutan. Criminal control model (CCM) lebih mengutamakan efisiensi, maksudnya penegakan hukum didasarkan atas prinsip cepat dan tuntas. Model ini di dalam KUHAP dikenal melalui asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Konkretisasi dari asas tersebut dirumuskanlah norma yang sifat perumusannya hipotetis dalam beberapa pasal di dalam KUHAP dengan kata-kata ’’segera” maupun kata- kata ’’wajib”.

Dalam perjalanannya KUHAP telah diberlakukan hampir 31 tahun telah banyak ditemukan kelemahan-kelemahan. 1) Perumusan norma yang tidak jelas, misalnya kata- kata ’’segera” tidak ada batas waktu untuk berapa lama, apa pula sanksinya jika tidak dilaksanakan kemudian kata-kata ’’wajib” apa akibat hukumnya atas perkara tersebut atau apa sanksinya bagi aparat penegak hukum, jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Perumusan norma yang tidak jelas ini masih banyak ditemukan terutama berkaitan dengan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik. 2) Kelemahan KUHAP dapat dilihat dari lembaga seleksi misalnya: praperadilan, hakim praperadilan selama ini hanya menguji dari aspek formalnya saja tetapi tidak aspek materilnya. 3) Prapenuntutan selama ini KUHAP tidak membatasi berapa kali arus bolak balik perkara antara penyidik dan penuntut umum, sehingga lamanya arus bolak balik perkara ini terkesan menunjukkan bahwa aparat penegak hukum kurang profesional.

Melihat kelemahan-kelemahan yang ada dalam KUHAP selama ini, supaya lebih sempurna sudah waktunya ’’REVISI KUHAP”. Revisi dimaksud baik normanya maupun aparatur pelaksana terutama kualifikasi penyidik dalam kaitannya dengan tugas penyidikan . Di sisi lain ada keinginan Tim penyusun RUU HAP untuk merubah Sistem atau model yang sudah ada, ke arah crime control model (CCM) dengan memunculkan ’’Lembaga Hakim Komisaris”. Persoalannya, apakah kita akan memulai dari awal lagi ataukah kita akan memperbaiki kelemahan-kelemahan sistem yang sudah ada dan telaih dijalani hampir 31 tahun ke arah yang lebih baik. Oleh sebab itu penulis akan mengkaji persoalan ini dari aspek penyidikan menurut KUHAP.

Hubungan Antar Aparat Penegak Hukum :

1.     Hubungan Penyidik POLRI dengan PPNS Tertentu.

Terdapat  (Pasal 7 ayat (2), Pasal 107 ayat (1), (2), (3), Pasal 109 ayat (3). Di dalam Pasal 7 ayat (2), diatur bahwa penyidik PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.    Hubungan    koordinasi ini lebih    lanjut diatur pada
Pasal 7 ayat    (1), (2) dan (3) dan Pasal 109 ayat (3). Dalam    prakteknya penyidik PPNS ini

hanya memberitahukan saja kepada penyidik Polri. Hubungan koordinasi sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya. Dalam Revisi KUHAP mendatang perlu dipertegas perumusan norma hukum atas kewajiban dan akibat hukum bagi aparat penegak hukum yang tidak melaksanakan kewajiban.

2.     Hubungan Penyidik Polri dengan Penuntut Umum

Sejak penyidik memberitahukan kepada penuntut umum telah dimulainya penyidikan Pasal 109 ayat (1), perpanjangan penahanan oleh penuntut umum pada tingkat penyidikan Pasal 24 ayat (2), pemberitahuan penghentian penyidikan oleh penyidik kepada penuntut umum Pasal 109 ayat (2) dan praperadilan Pasal 80, 83 ayat (2), meskipun secara formal prapenuntutan diatur dalam Pasal 14 huruf b dan melihat adanya kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan menunjukkan adanya koordinasi fungsional antara penyidik dan penuntut umum dan secara materil sebetulnya prapenuntutan telah dilaksanakan. Dalam praktek, persoalannya SPDP baru disampaikan kepada penuntut umum bersamaan ketika berkas perkara disampaikan kepada penuntut umum. Hasil penelitian S. Sibagariang dkk (1995) bahwa hubungan antara prapenuntutan dan putusan pengadilan tidak efektif, artinya putusan yang dijatuhkan oleh hakim lebih banyak bebas atau lepas dari segala tuntutan dari pada putusan pidana.. Seharusnya setelah melalui seleksi prapenuntutan putusan yang dijatuhkan adalah lebih banyak putusan pidana. Jika lebih banyak putusan bebas maupun lepas hal ini menunjukkan bahwa penyidik kurang profesional.
Sejak awal koordinasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum, wajib dilaksanakan dan normanya harus dirumuskan secara tegas beserta akibat hukumnya, jika tidak dilaksanakan. Misalnya Pasal 109 ayat (1) Pemberitahuan telah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum harus jelas berapa hari sejak dilakukannya penyidikan oleh penyidik. Bolak balik perkara harus ditentukan secara tegas hanya satu kali misalnya, jika tidak harus tegas dirumuskan normanya “hentikan penyidikan”. Dengan demikian ketika berkas perkara diajukan ke penuntut umum sudah lengkap, dengan barang bukti dan tersangkanya, Hasil penyidikan maksimal, akan berimplikasi nanti pada putusan hakim, terbukti secara sah dan meyakinkan, putusannya pidana. Hal ini berarti pekerjaan penyidik tidak sia-sia. Oleh sebab itu dalam revisi kuhap dituntut PROFESIONAL PENYIDIK POLRI, hal ini akan membawa perubahan berkaitan dengan pola rekruitment penyidik Polri yang dilakukan selama ini hanya tamat SMA. Kedepan harus sejajar pendidikannya dengan jaksa, harus SI Sarjana Hukum.
Kata-kata ”segera” pada Pasal 110 ayat (1), (2) dan (3), harus dipertegas waktunya dan akibat hukum bagi putusan dan sanksi bagi penyidik sebagai aparatur pelaksana.

3.     Hubungan Penyidik POLRI dengan Hakim/Pengadilan

a)    Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan perpanjangan penahanan senagaimana dimaksud dalam Pasal 29 atas permintaan penyidik.
b)    Atas permintaan penyidik , Ketua Pengadilan Negeri menolak atau memberikan surat izin penggeledahan rumah, atau penyitaan dan atau surat izin khusus pemeriksaan surat (Pasal 33 ayat 1, Pasal 38 ayat (1) dan Pasal 43 dan Pasal 47 ayat (1).
c)    Penyidik wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau peyitaan yang dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak. Sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2).
d)    Penyidik memberikan kepada Pantera bukti bahwa surat amar Putusan telah disampaikan kepada terpidana (Pasal 214 ayat (3)
e)    Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya perlawanan dari terdakwa (Pasal 214 ayat (7).

Penahanan
Upaya paksa dalam KUHAP dilakukan dalam keadaan terpaksa serta harus memenuhi syarat-syarat yang ketat dan jangka waktu yang terbatas. Penahanan beserta perpanjangan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 s.d 28 mulai dari penyidikan sampai dengan pemeriksaan kasasi oleh mahkamah agung lamanya berjumlah 400 hari. Waktu penahanan dirasa sudah cukup lama sehingga perlu pengurangan waktu. Untuk Revisi KUHAP mendatang tidak perlu diatur lagi pengecualian yang selama ini dirumuskan dalam Pasal 29 KUHAP. Penangguhan penahanan yang selama ini tidak diatur dalam KUHAP, tetapi di dalam prakteknya penangguhan penahanan sering digunakan oleh tersangka. Dalam revisi KUHAP penangguhan penahanan perlu dirumuskan beserta akibat hukumnya yaitu pengurangan masa pidana atas lamanya masa penangguhan penahanan.

Penggeledahan
Dari ketentuan Pasal 33 ayat (5) dan Pasal 34 KUHAP dapat diketahui bahwa tidak ada kejelasan apakah setelah dilakukan penggeledahan kemudian penyidik mendapatkan surat persetujuan dari ketua pengadilan negeri atas tindakan penyidikan yang dilakukan. Lebih lanjut harus diatur secara tegas apa akibat hukumnya apabila batas waktu 2 hari terlampaui, surat turunan tidak disampaikan kepada pemilik rumah.

Penyitaan
Dari ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHAP, dapat diketahui bahwa ada dua bentuk izin yang diterbitkan ketua pengadilan negeri yaitu: (1) surat izin ketua pengadilan negeri yang diterbitkan sebelum penyitaan dilakukan; (2) persetujuan ketua pengadilan negeri setelah penyitaan dilakukan. Persoalannya bagaimana jika ketua pengadilan tidak memberikan persetujuan atas penyitaan yang telah dilakukan, apakah penyitaan yang telah dilakukan menjadi tidak sah.
Dalam revisi KUHAP mendatang dan untuk kepastian hukum kata ’’wajib segera” pada perumusan norma hukum Pasal 38 ayat (2), harus dipertegas apa akibat hukum putusan hakim atas perkara tersebut jika kewajiban penyidik tidak dipenuhi, serta harus dirumuskan akibat hukum bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya. Dengan demikian Penyidik Polri dituntut profesionalisme dalam melakukan penyidikan.

Hak-hak Tersangka dan Terdakwa,
Pengaturan tentang hak-hak tersangka dan terdakwa, KUHAP menggu- nakan prinsip keseimbangan terhadap dua kepentingan yang sekaligus dilindungi, yaitu kepentingan masyarakat (termasuk kepentingan korban tindak pidana) dan kepentingan pelaku tindak pidana. Kepada tersangka dan terdakwa diberikan hak untuk merealisir hak-hak tersebut, undang-undang memberikan kewajiban pemenuhannya secara maksimal. Jika pengaturan tentang pemberian hak di satu pihak tanpa adanya kewajiban dipihak lain, maka hak itu hanya hanya berupa ide saja. Hak-hak yang diberikan pada tahap penyidikan dan penuntutan dimana perumusan normanya tidak jelas yaitu Pasal 50 ayat (1), (2), (3).
Untuk terciptanya suatu kepastian hukum, kata ’’segera” dalam perumusan norma hukum Pasal 50 ayat (1), (2), (3) KUIIAP harus dipertegas, waktunya berapa lama, jika sudah ditentukan waktunya, harus dipertegaskan lagi apa akibat hukum putusan hakim atas perkara tersebut jika waktunya tidak dipenuh, serta harus dirumuskan akibat hukum bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya. Dengan demikian Penyidik Polri dituntut profesionalisme dalam melakukan penyidikan.
Dalam revisi KUHAP mendatang dan untuk kepastian hukum kata ’’wajib” pada perumusan norma hukum Pasal 56 ayat (1), harus dipertegas apa akibat hukum putusan hakim atas perkara tersebut jika kewajiban penyidik tidak dipenuhi, serta harus dirumuskan sanksi bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya. Dengan demikian Penyidik Polri dituntut profesionalisme dalam melakukan penyidikan.

Pelaksanaan penyidikan
Untuk terciptanya suatu kepastian hukum, kata ’’segera” dalam perumusan norma hukum Pasal 111 ayat (1), (2), KUHAP harus dipertegas, waktunya berapa lama, jika sudah ditentukan waktunya, harus dipertegaskan lagi apa akibat hukum putusan hakim atas perkara tersebut jika waktunya tidak dipenuh, serta harus dirumuskan akibat hukum bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya. Demikian pula denga kata- kata ’’wajib” pada perumusan norma hukum Pasal 104, 108, 116 ayat (4), harus dipertegas apa akibat hukum putusan hakim atas perkara tersebut jika kewajiban penyidiktidak dipenuhi, serta harus dirumuskan akibat hukum bagi penyidik yang tidak memenuhi kewajibannya. Dengan demikian dituntut Profesionalisme Penyidik Polri dalam melakukan penyidikan.

Wewenang Mengadili.
Untuk menguji keabsahan penggunaan upaya paksa dan akibat hukum penggunaan upaya pakas, kepada tersangka diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum praperadilan.
Dalam Pasal 77 KUHAP dinyatakan sebagai berikut:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai denganketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidana¬nya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam prakteknya selama ini, hakim praperadilan hanya menguji atau menilai syarat-syarat formal dari suatu upaya paksa saja, seharusnya dalam revisi KUHAP mendatang hakim seharusnya juga menilai atau menguji syarat-syarat materil dari permohonan praperadilan tersebut, misalnya apakah penyidik menyampaikan tembusan surat perintah atau penetapan penahanan kepada keluarga tersangka atau terdakwa. Atau apakah peristiwa yang terjadi benar-benar peristiwa pidana, apakah unsur-unsur suatu tindak pidana itu terpenuhi, sehingga harus diberlakukan penahanan terhadap tersangka, secara materil hal-hal seperti ini juga harus dinilai oleh hakim praperadilan. Lebih lanjut guna pengawasan atas putusan hakim praperadilan. Semua putusan hakim praperadilan dapat diajukan upaya hukum banding, yang selama ini hanya diberikan pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 83 ayat (2), tetapi tidak meliputi keseluruhan Pasal 77 KUHAP. Oleh sebab itu sudah waktunya lembaga Pra Peradilan diperbaiki dan diperkuat.
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diharapkan lebih bisa menopang penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Selama ini KUHAP menjadi tumpuan harapan berbagai pihak demi penyelenggaraan peradilan yang bersih dan adil.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *